Mata itu, terus mengamatiku kemanapun aku berada. Cihhh….sungguh
orang itu sudah tak punya malu, pikirku. Hiruk pikuk keramaian
membuyarkanku dari lamunan tentang masa-masa indah bersamanya, kenangan
yang mungkin takkan terlupakan dan terus tersimpan di ingatan ini meski
pada akhirnya akan sangat mengiris hati. Astagfirullah….air mata ini
akan segera membasahi kedua pipiku bila tak segera kuseka dengan sapu
tangan. Mengapa hati ini belum bisa mengikhlaskan kejadian kemarin?
Penghianatan yang kuterima setelah empat tahun berada disisinya, sungguh
kisah cinta yang sangat miris untuk dikisahkan.
Sesaat
kulihat wajah kedua orangtuaku tersenyum dibalik kerumunan para orangtua
calon wisudawan. Hari ini merupakan hari yang membanggakan bagi mereka
semua, setelah melewati perjuangan panjang pahit manis bangku kuliah di
Universitas Al-Asyariah Mandar. Liana, Fira, dan Dina adalah my best
friend. Mereka selalu menghiburku ketika hati ini mulai terasa perih
lagi. Katanya,
”Kami mengerti isi hatimu kawan”. Sungguh, dorongan mereka saat ini yang sangat kubutuhkan.
“Sayang,,,kamu kenapa?”. Tanya fira.
“Dia, dia ada disini dan terus mengamatiku. Aku sangat merasa risih dibuatnya”. Jawabku.
“Sudahlah…kamu tenang saja, dia tidak akan mengganggumu lagi”. Ujar Liana sambil menggenggam tanganku berusaha menguatkan hatiku, dan aku menghargai usahanya itu.
Calon
wisudawan dan wisudawati bergantian naik ke podium untuk meresmikan
titel yang akan mereka sandang dibalik namanya. Sesaat kemudian,
terdengar panggilan “Dewi Riana Ahmad”, kini saatnya giliran aku naik
ke podium. Oh,,,kakiku rasanya lemas, kedua tanganku mulai berkeringat
dingin. Sesekali kulirik matanya yang memperhatikanku, seolah ingin
merangkullku dari kejauhan namun bayangan wanitanya menghalangi niatnya.
“Selamat”,
kata pak Rektor yang menyalamiku setelah peresmian yang telah dia
berikan kepadaku dengan memindahkan pita togaku dari kiri ke kanan.
Kuucapkan,
“Terimakasih” yang sangat mendalam kepadanya.
***
Hati
ini menangis saat melihatnya berbincang dengan orangtuaku. Ya Allah,
kenapa kau tidak mentakdirkan dia untukku. Empat tahun bersamanya, tapi
Kau memilihkan dia dengan seseorang yang hanya enam bulan dikenalnya
lewat dunia maya. Mama, Papa, maafkan aku telah merahasiakan
kegagalanku, karena kurasa itu akan lebih baik daripada kalian tahu yang
sebenarnya. Setidaknya kalian tidak akan mengasihaniku.
“Dewi…kemari nak, saatnya kita berfoto bersama”. Panggil mamaku.
“Iya ma…”, sahutku. Lalu photographer mengatur posisi kami, yang dimana aku ditengah dan ada mama dan papa disampingku. Lalu,
“Nak Wahyu mari bergabung bersama kami, pamali bila berfoto hanya bertiga” panggil mamaku padanya.
“Terimakasih tante”,
dia pun segera ambil posisi disamping mamaku. Kenapa harus dia?, sangat
menggelikan berfoto dengan orang yang jelas telah menyakiti kita.
Kuatkan aku ya Allah…
Setelah kami merasa cukup berfoto,
orangtuaku berpamitan kepada teman-temanku dan dengan dia, seolah dia
akan menjadi orang terakhir mendampingiku. Suatu hari mereka harus tahu
yang sebenarnya. Tanpa sadar, Wahyu menarik tanganku dan mengajakku ke
Sekretariatan Mapala, lalu kami duduk di pondok bambunya
“Dewi, aku mau bicara, Ada beberapa hal yang ingin kujelaskan padamu dan kurasa itu penting untuk kau ketahui”, bujuknya.
“Baiklah, katakan apa yang ingin kau katakan karena mungkin ini kali terakhirnya kita bicara”. Kutatap matanya saat ia menggenggam tanganku dan ia mulai bicara.
“Sayang
maafin aku telah menyakiti dan mengecewakanmu, tidak sepatutnya aku
memperlakukanmu seperti ini. Tapi sungguh aku tiada niat untuk itu.
Karena kamu juga tahu kan?, aku sangat menyayangimu”. Terangnya.
“Oh ya…kamu
menyayangiku?, tak ada niat?, menggelikan sekali. Jadi berpacaran
dengan dia selama enam bulan di facebook tanpa sepengetahuanku, kamu
anggap tak ada niat?”. Dadaku mulai sesak mendengar pernyataanya.
“Aku tahu, aku memang salah. Tapi aku berharap kamu bisa mengerti posisiku pada saat itu!”. Dia semakin menggenggam tanganku dengan erat.
“Aku memang dekat denganya saat kau tidak memperhatikanku karena
kesibukanmu, dan itu kulakukan semata untuk menghibur diri dari
kejenuhan. Jadi please, kamu jangan salah paham dulu dengan semua ini”. Airmata pun jatuh membasahi kedua pipiku dan aku sudah tak sanggup lagi menahannya karena mata ini juga berhak untuk menangis.
“Kamu
kira aku tidak tahu?, sekarang wanita jawa itu tinggal dirumahmu. Dan
dia mulai perlahan merampas posisiku di kehidupanmu”, Ungkapku dengan keseduhan.
“Darimana kau ketahui semua tentang itu?”, tanyanya.
“Apa
kau juga telah menjanjikan pernikahan padanya?, sehingga dia rela
meninggalkan keluarganya di Surabaya, lalu datang menemuimu di
Makassar?”. Aku berusaha melepas genggamannya dan mencoba tegar dihadapannya meski sebenarnya aku sangat rapuh karenanya.
“Aku tidak menyangka, ternyata kau mengetahui lebih dari yang
kuduga. Dia memang sekarang ada dirumah, dan dia datang ke makassar
bukan sepenuhnya untuk bertemu denganku tetapi dia ingin pindah agama
Islam. Dan aku tidak bisa menolak niat baiknya, jadi aku menerima dia dan membantunya”.
“Dan kamu juga tidak bisa menolak permintaanya untuk dinikahi?, selaku. Dan dia pun berusaha menenangkanku dengan menepuk pundakku.
“Sayang, entah kenapa aku jadi serba salah. Disatu sisi aku tidak bisa
menolaknya, dan disisi lain aku tak tak sanggup meninggalkanmu”. Jawabnya. Aku hanya bisa menghela napas,
“Itu karena kamu telah berani bermain api dan kamu tidak sanggup menyelamatkan dirimu sendiri apalagi memadamkannya”.
Untuk
beberapa saat, kami saling berdiam. Entah apa yang dipikirkannya, dan
aku juga bingung apa yang sekarang aku pikirkan. Pikiranku jadi sangat
kacau, marah dan sedih menggunduk di otakku hingga aku tak mampu untuk
memutar otakku agar tetap dapat berpikir.
Dia mulai berdaham, sepertinya dia ingin memulai kembali pembicaraan ini.
“Dewi, aku berusaha untuk mengambil keputusan dengan sebijak mungkin”, lalu dia menarik napas dalam-dalam.
“Sekarang,
aku satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadapnya karena cuma
aku yang dia punya di sini. Dan mungkin aku akan benar-benar menikahinya
karena aku telah terlanjur janji padanya”. Oh…Tuhan aku sudah tak
sanggup lagi berpura-pura kuat dihadapanya, air mata ini semakin tumpah.
Lalu dia memelukku berusaha menenangkanku lagi.
“Maafin aku sayang…,kuharap kau bisa mengerti dan ikhlas menerimanya”, ujarnya. Rasanya aku tak ingin melepas pelukannya karena kutahu setelah ini, tak ada lagi pelukan hangat darinya.
“Aku mohon jangan menangis, aku ingin melihatmu tetap sebagai Dewi yang selalu tersenyum ceria”.
Lalu dia melepas rangkulan tanganku dari pundaknya kemudian mengecup
keningku. Hangat dan lembut bibirnya kurasakan begitu tulus hingga aku
semakin tak kuasa menahan perasaan sedihku akan berpisah dengannya.
“Sudahilah tangisanmu ini sayang, kamu pastinya tidak ingin tampilan riasanmu rusak saat bertemu dengan teman-temanmu nanti”.
Dia berusaha mencoba menghiburku dan menguatkanku. Setelah merasa agak
tenang dia mengantarku ke toilet untuk merapikan diri kembali.
Sesaat
kemudian, aku telah keluar dari toilet. Emosiku sudah agak baikan dan
aku juga telah memperbaiki riasanku. Aku tidak ingin orang
bertanya-tanya ketika melihat keadaanku kacau. Lalu dia mengantarku
untuk bertemu dengan teman-teman wisudawanku, mereka semua masih tampak
bersemangat dan bahagia. Lalu dia memasang kembali toga di kepalaku
sembari tersenyum dan berkata,
“Lanjutkan hidupmu sayang, dan izinkan aku sekali lagi mengecup keningmu sebagai tanda perpisahan”, pintanya.
Lalu aku hanya bisa mengangguk. Ketika kurasakan sentuhan lembut
bibirnya di keningku, entah mengapa hati ini merasa damai setelah apa
yang terjadi. Mungkin aku sudah mulai belajar ikhlas melepaskannya.
Kemudian
dia berpamitan kepada teman-temanku. Untuk terakhir kalinya aku
memandangi kepergiannya yang takkan kembali dan ku hanya bisa ikhlas
dan bertawakkal. Sampai jumpa kekasih terindah yang bukan untukku.
Semoga kau bahagia dengan pilihanmu.
Makassar, 10 Mei 2011