A. Sejarah
Pemerintahan Daerah
Sebagai pelaksanaan pasal 18 UUD 1945 di bidang
ketatanegaraan pemerintah Republik Indonesia melaksanakan pembagian
Daerah-daerah dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-undang Pememrintah Daerah.
Oleh karena itulah sejak proklamasi kemerdekaan,
kita lihat pemerintah beberapa kali
membentuk Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan-perubahan
terlihat karena masing-masing Undang-undang menyesuaikan diri dengan situasi
dan kondisi waktu terjadinya sehingga akhirnya terbentuk Undang-undang No. 5
Tahun 1974.
Beberapa Undang-undang Pemerintah Daerah yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
a.
Undang-undang
No. 1 Tahun 1945 tentang kedudukan
Komite Nasional Daerah, yang merupakan langkah pertama menerapkan demokrasi di
Daerah. Saying Undang-undang ini terlalu singkat bunyinya karena hanya mengatur
kedudukan Komite Nasional Daerah (KND) sebagai penjabaran Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan badan legislatif darurat. Kemudian
selanjutnya di Daerah KND berganti nama menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah
(BPRD).
b.
Undang-undang
No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang ini merupakan
penghapusan perbedaan antara cara pemerintahan di Jawa dan Madura dengan
Daerah-daerah di luar jawa dan Madura (uniformitas). UU ini diumumkan 1 tahun
sesudah Aksi Militer I (1947) dan 6 bulan sesudah UU ini diumumkan, Tentara
Belanda melanjutkan AksiMiliter II(1948), sehingga UU ini sempat dijalankan
secara sempurna.
c.
Undang-undang
No. 4 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia Timur (NIT) ini
hanya bersifat separatis, hal ini adalah
akibat berlakunya Konstituante RIS
dimana Negara Republik Indonesi berbentuk seperti Serikat. Untunglah kemudian
UU ini tidak sempat diterapkan karena disusul dengan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang mengakibatkan dengan sendirinya membubarkan NIT.
d.
Undang-undang
No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini sebagai usaha
untuk uniformitas dalam menyatukan UU tentang Pokok-pokok Otonomi Daerah bagi
seluruh Indonesia, yang akan menggantikan seluruh perundang-undangan tentang
Pokok-pokok Otonomi yang beraneka warna.
Dalam UU ini pula kita temui istilah Swatantra.
e.
Undang-undang
No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokokPemerintahan Daerah. UU ini dibuat sewaktu
PKI beberapa waktu menjelang meletusnya, sehingga dalam UU ini sempat
dimasukkan ketentuan bahwa untuk terciptanya demokrasi (terpimpin) maka di
dalam Pimpinan DPRD, pembentukan Wakil-wakil Ketua harus menjamin terciptanya
poros Nasakom. Selain itu UU ini
terkenal dengan pemberian Otonomi yang seluas-luasnya.
f.
Undang-undang
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerinatahan di Daerah. UU ini terkenal
dengan pemberian Otonomi yang nyata, DInamis dan Bertanggung jawab. Nyata dalam
arti bahwa pemberian Otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada
factor-faktor, perhtungan-perhitungan, dan tindakan-tindakan atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin Daerah yang
bersangkutan secara Nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Bertanggung
jawab dalam arti bahwa pemberian Otonomi itu benar-benar sejalan dengan
tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar seluruh di pelosok
nagaradan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan
politik dan Kesatuan Bangsa, menjamin
hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU No. 5 Tahun 1974
ini mempunyai judul dengan penekanan kata penunjuk tempat “di”. Maksudnya
adalah karena UU ini selain mengatur
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Otonom, juga mengatur tentang
pokok-pokok penyelenggaraan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di Daerah.
g.
Undang-undang
No. 22 Tahun 1999. Undang-undang ini dibentuk untuk menyesuaikan diri dengan
demikian daerah-daerah yang selama ini didomiasi oleh pusat dicoba untuk
diberikan Otonomi dengan tetap memberikan rambu-rambu pencegahan desintegrasi.
Kepala Daerah
Dalam UU No. 5/1974 KepalaWilayah (Gubernur dan
Bupati) adalah juga Kepala Daerah, dualism istilah ini menimbulkan kerancuan
yaitu sebagai Kepala Daerah ia dipilih oleh DPRD namun kemudian ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat (Menteri Dalam Negeri) sebagaimana Pasal 15 UU no. 5/1974.
Tetapi sebagai penanggung jawab terakhir pemerintahan, tetap saja
pertanggungjawaban disampaikan kepala Presiden melalui Menteri Dalam Negeri,
resikonya DPRD hanya menjadi Badut
Politik.
Dalam UU No. 22/1999 Kepala Daerah Tingkat I
disebut sebagai Gubernur (tanpa istilah
KDH) dan Kepala Daerah Tingkat II disebut sebagai Bupati (tanpa istilah KDH). Walaupun demikian bukan berarti
Gubernurdan Bupati merupakan pejabat pusat saja (Kepala Wilayah) karena DPRD
diberikan wewenang yang besar dakam mengawasi jalannya roda pemerintahan, maka
tidak menutup kemungkinan Gubernur dan
Bupati diminta pertanggungjawabannya
atas jalannya roda pemerintahan sewaktu-waktu.
Dari mempelajari besarnya kemungkinan selama ini,
Gubernur dan Bupati menciptakan Kroni, maka Pasal 48 UU No. 22/1999 melarang
sebagai berikut:
1.
Membuat
keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota
keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok politik tertentu.
2.
Menerima
uang, barang, dan jasa dari pihak lain (sogok) dan kolusi yang patut dapat
diduga akan mempengaruh keputusan atau
tindakan yang akan dilakukan.
Bahkan Pasal 49 UUini Gubernur dan Bupati dapat
diberhentikan dari jabatannya apabila muncul krisis kepercayaan dari Masyarakat
setempat. Begitu juga dalam Pasal 55 UU ini dinyatakan oleh DPRD tidak dapat
dicalonkan lagi untuk pilihan selanjutnya.
Selama ini betapa kita lihat Gubernur dan Bupati
memenangkan tender para kroninya, sehingga pada gilirannya memperkaya golongan
tertentu dan mempermiskin golongan lainnya. Tender seperti ini tidak
menimbulkan pembesaran rizki kebawah(Trickle Down Theory).
DPRD
Berbeda dengan UU No. 5/1974 yang Rapat Dewan
dilaksanakan minimal 2 kali dalam setahun (Pasal 31) maka DPRD di era UU No.
22/1999 dituntut untuk lebih aktif yaitu Rapat Dewan minimal harus 6 kali dalam
setahun (Pasal 23).
Demikian pula halnya dengan perimbangan keuangan
pada UU No. 22/1999 ditentukan dana perimbangan keuangan melalui pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan serta pengambilan sumber daya alam.
Selama ini kita lihat bagaimana tidak seimbangnya
penyedotan Pemerintah Pusat terhadap kekayaan daerah yang tidak sebanding
dengan subsidi yang dikembalikan, dengan UU keadaan ini diharapkan
tertanggulangi.
Dinas Otonom
Pemerintah Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan
kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah
penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya
otonomi daerah.
Dari setiap penyerahan setiap urusan yang diberikan
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dapat dibentuk berbagai Dinas
Otonom. Jadi Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah yang
dipimpin oleh seorang Kepala Dinas, diangkat oleh Kepala Daerah dari pegawai
negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah. Kepala Dinas
Daerah ini bertanggungjawab kepada Kepla Daerah melalui Sekretaris Daerah.
Antisipasi
Dari berbagai kemungkinan otonomi yang luas dari UU No. 22/1999ini
memang suatu ketika cenderung terbentuk suasana yang federalistik, maka yang
perlu diatisipasi dari UU ini adalah besarnya dominasi dan arogan DPRD,
ketegangan antar pribumi dan pendatang di masing-masing daerah, retaknya
Persatuan dan Kesatuan, berkurangnya rasa Nasionalisme, lemahnya pengawasan
pusat, munculnya egoism kedaerahan, munculnya tujuan yang berbeda-beda.
A. Azas
Penyelenggaraan Pemerintahan di
Indonesia
Ada 3 azas penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia
yang harus diseimbangkan pemakaiannya yaitu sebagai berikut:
1.
Azas Negara Hukum
Yaitu azas yang mempedomani peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ini mangandung arti bahwa negara, termasuk di
dalamnya pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya, dalam melaksanakan
tindakan apapun harus dilandasi oleh
hokum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Prinsip dari azas ini tampak dalam rumusan
peraturan yang diwujudkan dari cita-cita
hukum (rechssidee), kalu tidak demikian akan muncul kesemena-menaan yang
bermula dari subyektifitas penguasa.
2.
Azas Semangat Kekeluargaan
Yaitu azas yang mempedomani rasa kemanusiaan dan
cinta kasih senasib sepenanggungan. Istilah kekeluargaan itu berasaldari kata
“keluarga” itu terdapat dalam masyarakat, bangsa apa saja, selain ditentukan
oleh ikatan darah juga terdapat ikatan lainnya yang terjadi karena rasa cinta
kasih antara sesame anggota yang sudah dianggap keluarga, yang membawa akibat
saling bantu membantu, saling menghormati dan saling memberikan perlindungan.
Demikianlah jika ikatan-ikatan itu ditingkatkan
dalam hubungan antar keluarga sampai pada hubungan antar anggota keluarga yang
lebih besar, disebut kekeluargaan. Kekeluargaan ini sebagai pengobyetifan dari
kekeluargaan yang subyektif.
3.
Azas Kedaulatan Rakyat
Yaitu azas yang mempedomani bahwa kekuasaan
tertinggi adalah hati nurani rakyat kecil yang selama ini walaupun jumlah
mereka besar, tetapi mereka diam (Silent Majority). Azas ini berasal dari
keinginan untuk mewujudkan demokrasi, tetapi hendak dapat dibedakan antara
demokrasi dengan kebebasan, kendatipun demokrasi membicarakan berbagai
kebebasan seperti kebebasan berpendapat, kebebasan menuntut ilmu dan
mengusahakan mata pencaharian yang layak serta lain-lain. Namun kebebasan pada
gilirannya dapat mencapai dekadasi moral karena bagaimanapun manusia ingin
bebasbahkan hidup sendiri, peraturan dan hukum tetap perlu diadakan sendiri.
Ketiga azas tersebut diatas mutlakharus
diseimbangkan, karena bila dilaksanakan sendiri-sendiri cenderung akan memiliki ekses negative.
Misalnya hukum yang dilaksanakan secara berlebih-lebihan akan menyingkirkan
kemanusiaan dan kekeluargaan, nilai-nilai kekeluargaan bila dilakukan
berlebihan akan melupakan hukum yang harus dijalankan, dan kebebasan rakyat
yang dibiarkan berlebihan akan menimbulkan pelanggaran ssyariah agama yang
trasedental.
Namun demikian apabila dijalankan berbarengan secara
seimbang akan menciptakan hasil yang luar biasa baiknya, dalam penyelenggaraan
sistem pemerintahan Indonesia. Ini memang merupakn sifat dan azas yang dianut
oleh Undang-undang Dasar 1945, yang ditelurkan dari pola piker pendiri negara
kesatuan Republik Indonesia ini dulu. Itulah sebabnya dalam ketatanegaraan
Indonesia kita kenal hukum yang bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila,
kekeluargaan leluhur yang berbhineka tunggal ika, dan keberadaan dewan
perwakilan rakyat yang sampai saat ini masih tetap mencari bentuk
keindonesiaannya.
B. Azas
Pemerintahan di Daerah
Dalam hubungan Pemerintahan Pusat dengan pemerintah
Daerah, kita mengenal bebrapa kali pergantian Undang-undang pemerintahan
Daerah. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan di daerah, yang masih berlaku
sampai saat ini,dikenal beberapa azas penyelenggaraan pemerintahan di Daerah,
sebagai berikut:
1.
Azas Desentralisasi
Azas desentralisasi adalah azas penyerahan sebagian
urusan dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.
2.
Azas Dekosentrasi
Azas dekosentrasi adalah azas pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat atau kepala wilayah, atau kepala instasi vertical tingkat
atasnya, kepada pejabat-pejabatnya di Daerah.
3.
Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan adalah azas untuk turut sertanya pemerintah daerah
bertugas dalam melaksanakan urusan pemerintahan pusat yang ditugaskan kepada
pemerinah daerah oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya
dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Konsekuensi daripada ketiga azas tersebut diatas,
maka diadakan sebagai berikut:
1.
Otonomi
Daerah, yaitu akibat adanya desentralisasi
lalu diadakan daerah otonomyang diberikan hak wewenang dan kewajiban
untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri sesuai peraturan berlaku.
2.
Daerah
Otonom, yaitu akibat adanya otonomi daerah lalu dibentuklah daerah-daerah
otonom, baik untuk tingkat I maupun tingkat II. Daerah Otonom itu sendiri berarti kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan myang berlaku.
3.
Wilayah
Administratif, yaitu akibat adanya azas
dekosentrasi. Wilayah Administratif itu sendiri, berarti lingkungan kerja
perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan
umum di Daerah. Tugas pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang
meliputi bidang-bidang ketentraman, ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan
dan urusan pemerintahan lainnya (seperti peradilan, keamanan, moneter, dan luar
negeri) yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak
termasuk urusan rumahtangga Daerah.
Kata “mengurus” dan
“mengatur” dalam pemberian otonomi keapada daerah dapat dibedakan, yaitu mengurus berarti fungsi penyelenggaraan
pemerintahan yang dijalankan oleh pihak eksekutif daerah yaitu Kepala Daerah,
sedangkan mengatur berarti fungsi pengaturan yang dijaankan oleh pihak pembuat
peraturan Daerah. Kesemuanya merupakan fungsi pemerintah daerah itu sendiri bik
Tk. I maupun Tk II.
1)
Kepala Wilayah, Kepala Daerah dan
Otonomi Daerah
Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa Kepala
Wilayah belum tentu sekaligus Kepala Daerah, contoh Camat. Tetapi Kepala Daerah
dengan sendirinya Kepala Wilayah seperti Gubernur Kepala Daerah Tk. I dan
Bupati Kepala Daerah Tk. II serta Walikotamadya KDH Tingkat II.
Begitu pula dengan halnya Sekretariat Daerah adalah
unsur staf yang membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan Pemerintahan
Daerah. Secretariat Daerah dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah atau Sekda.
Tetapi karena dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 untuk menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa di dalam negara kesatuan Republik Indonesia, maka
desentralisasi dijalankan bersama-sama dengan dekosentrasi. Sehingga bukan
hanya Kepala Daerah Tk. I dan Kepala Daerah Tk. II yang merangkap Kepala
Wilayah, selanjutnya Sekretariat Daerah adalah juga Sekretariat Wilayah.
Secretariat Daerah karena jabatannnya adalah juga Sekretaris Wilayah.
Dengan demikian dalam pembicaraan sehari-hari
dikenal Sekretaris Wilayah Daerah untuk orang yang menjabat dan memimpin suatu
kantor Sekretariat Wilayah Daerah, baik untuk Tingkat I maupun Tingkat II.
Sebagaimana telah diuraikan pada
penjelsan-penjelasan sebelumnya, bahwa desentralisasi adalah penyerahansebagian
urusan pemerintahandari PemerintahPusat kepada Pemerintah Daerah dan seterusnya
menjadi urusan rumah tangga Daerah. Sebagai implementasinya lalu diadakan otonomi
Daerah baik pada Daerah Tk. I maupun Daerah Tk. II.
Otonomi Daerah itu sendiri berarti hak, wewenang dan
kewajiban suatu Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Fungsi mengatur diberikan kepada aparat legislative yaitu DPRD,
sedangkan fungsi mengurus diberikan kepada aparat eksekutif yaitu Kepala Daerah
dan Dinas-dinas Otonominya. Itulah sebabnya DPRD pada masing-masing Daerah
dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) masing-masing sesuai ketentuan yang
berlaku.
Dalam berbagai kesempatan selalu disampaikan bahwa
titik berat otonomi Daerah diberikan kepada Daerah Tingkat II namun demikian
dalam kenyataannya pemberian otonomi kepada Daerah, lebih besar kewajiban
daripada hak. Sehingga dengan demikian masih tampak unsur sentralistis. Karena
“Kewajiban” untuk menjaga persatuan dan kesatuan, merupakan sentralisasi
pemerintahan. Sedangkan “Hak” untuk mengatur dan mengurus rumahtangga sendiri,
merupakan desentralisasi pemerintahan.
Selain daripada itu identik dengan pertanggungjawaban
Presiden di tingkat Pemerintah Pusat, Kepala Daerah tidak bertanggungjawab
kepada DPRD. Kendatipun begitu Kepala Daerah tetap wajib memberikan keterangan
pertanggungjawaba kepada DPRD sekurang-kurangnya sekali dalam setahun atau
apabila dianggap perlu DPRD dapat memintanya dalam waktu tertentu.
Kepala Daerah yang sekaligus juga ex officio Kepala
Wilayah (Gubernur, Bupati, ataupun Walikotamadya) sebagai aparat Pemerintah
Pusat yang berada di Daerah, bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri,. Ini menunjukkan bahwa Presiden selaku Kepala Negara merupakan
pertanggungjawaban terakhir hal ikhwal pemerintahan.
Segala apa yang telah disampaikan di atas
menunjukkan besarnya kekuasaan eksekutif pusat (Pemerintah Pusat) di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dan keseluruhannya berangkat dari anggapan bahwa
pada waktu diberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah, separatisme cenderung
sering terjadi. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memang
bangsa yang memiliki kebhinekaan mulai dari perbedaan keberagaman suku, adat
istiadat, bahasa daerah, agama kepercayaan, pulau, dan seni budaya lainnya.
Atas pemikiran itu pula dalam Undang-undang No. 5
Tahun 1974, disebutkan bahwa Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah dari
antara calon-calon yang diajukan oleh DPRD tidak dapat memilih salah satu
diantaranya, ini adalah merupakan hak prerogative Presiden.
Akhirnya disimpulkan bahwa pemberian otonomi kepada
Pemerintah Daerah haruslah nyata, dinamis dan bertanggungjawab. Nyata dalam arti
desentralisasi pemerintahan karena harus didasarkan pada factor-faktor,
perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang
benar-benar dapat menjamin Daerah tersebut mampu mengurus rumahtangganya
sendiri. Bertanggungjawab dalam arti sentralistis pemerintahankarena harus
sejalan dengan tujuan yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di pelosok
negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang
telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin
hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Sedangkan dinamis dalam arti Pemerintah Daerah yang
diberikan Otonomi Daerah tersebut berkembang kearah yang lebih baik dari wkatu
ke waktu, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunannya, maupun
dalam pelayanan kemasyarakatan.
Adapun yang menjadi kesimpulan ini adalah antara
lain sebagai berikut:
1.
Otonomi
Daerah ditandai dengan pemberian urusan-urusan tertentu kepada Daerah tertentu,
dan sisanya tetap dikelola oleh Pemerintah Pusat. Oleh karenanya terasa ada
pembatasan
2.
Perincian
pemberian urusan tersebut dimaksudkan untuk melihat kemampuan masin-gmasing
Daerah, tetapi di balik daripada itu ada pertimbangan lain untuk tidak member sesuatu urusan.
3.
Pemerintah
Daerah diharapkan untuk tidak terlalu besar mengharapkan ketergantungan pada
bantuan sumbangan dari Pemerintah Pusat.
4.
Urusan-urusan
yang tidak mungkin diserahkan kepada Pemerintah Daerah adalah urusan moneter,
urusan peradilan, urusan luar negeri dan urusan pertahanan keamanan.
5.
Pemerintah
Pusat diharapkan tidak terlalu banyak ikut campur dalam bursa pemilihan Kepala
Daerah. Sesuai peraturan yang berlaku Pemerintah Pusat dipersilahkan ikut
menetukan pemenang seelah calon diajukan.