Selasa, 13 Mei 2014

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH




 
A.     Sejarah Pemerintahan Daerah
Sebagai pelaksanaan pasal 18 UUD 1945 di bidang ketatanegaraan pemerintah Republik Indonesia melaksanakan pembagian Daerah-daerah dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang Pememrintah Daerah.
Oleh karena itulah sejak proklamasi kemerdekaan, kita  lihat pemerintah beberapa kali membentuk Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan-perubahan terlihat karena masing-masing Undang-undang menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi waktu terjadinya sehingga akhirnya terbentuk Undang-undang No. 5 Tahun 1974.
Beberapa Undang-undang Pemerintah Daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.             Undang-undang No. 1 Tahun 1945  tentang kedudukan Komite Nasional Daerah, yang merupakan langkah pertama menerapkan demokrasi di Daerah. Saying Undang-undang ini terlalu singkat bunyinya karena hanya mengatur kedudukan Komite Nasional Daerah (KND) sebagai penjabaran Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan badan legislatif darurat. Kemudian selanjutnya di Daerah KND berganti nama menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD).
b.             Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang ini merupakan penghapusan perbedaan antara cara pemerintahan di Jawa dan Madura dengan Daerah-daerah di luar jawa dan Madura (uniformitas). UU ini diumumkan 1 tahun sesudah Aksi Militer I (1947) dan 6 bulan sesudah UU ini diumumkan, Tentara Belanda melanjutkan AksiMiliter II(1948), sehingga UU ini sempat dijalankan secara sempurna.
c.             Undang-undang No. 4 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Negara Indonesia Timur (NIT) ini hanya bersifat separatis,  hal ini adalah akibat berlakunya Konstituante  RIS dimana Negara Republik Indonesi berbentuk seperti Serikat. Untunglah kemudian UU ini tidak sempat diterapkan karena disusul dengan pembentukan  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mengakibatkan dengan sendirinya membubarkan NIT.
d.             Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini sebagai usaha untuk uniformitas dalam menyatukan UU tentang Pokok-pokok Otonomi Daerah bagi seluruh Indonesia, yang akan menggantikan seluruh perundang-undangan tentang Pokok-pokok Otonomi yang beraneka  warna. Dalam UU ini pula kita temui istilah Swatantra.
e.             Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokokPemerintahan Daerah. UU ini dibuat sewaktu PKI beberapa waktu menjelang meletusnya, sehingga dalam UU ini sempat dimasukkan ketentuan bahwa untuk terciptanya demokrasi (terpimpin) maka di dalam Pimpinan DPRD, pembentukan Wakil-wakil Ketua harus menjamin terciptanya poros Nasakom. Selain itu UU ini  terkenal dengan pemberian Otonomi yang seluas-luasnya.
f.              Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerinatahan di Daerah. UU ini terkenal dengan pemberian Otonomi yang nyata, DInamis dan Bertanggung jawab. Nyata dalam arti bahwa pemberian Otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada factor-faktor, perhtungan-perhitungan, dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin Daerah yang bersangkutan secara Nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Bertanggung jawab dalam arti bahwa pemberian Otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar seluruh di pelosok nagaradan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang  telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik  dan Kesatuan Bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU No. 5 Tahun 1974 ini mempunyai judul dengan penekanan kata penunjuk tempat “di”. Maksudnya adalah karena UU  ini selain mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Otonom, juga mengatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di Daerah.
g.             Undang-undang No. 22 Tahun 1999. Undang-undang ini dibentuk untuk menyesuaikan diri dengan demikian daerah-daerah yang selama ini didomiasi oleh pusat dicoba untuk diberikan Otonomi dengan tetap memberikan rambu-rambu pencegahan desintegrasi.

Kepala Daerah
Dalam UU No. 5/1974 KepalaWilayah (Gubernur dan Bupati) adalah juga Kepala Daerah, dualism istilah ini menimbulkan kerancuan yaitu sebagai Kepala Daerah ia dipilih oleh DPRD namun kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (Menteri Dalam Negeri) sebagaimana Pasal 15 UU no. 5/1974. Tetapi sebagai penanggung jawab terakhir pemerintahan, tetap saja pertanggungjawaban disampaikan kepala Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, resikonya DPRD hanya menjadi Badut Politik.
Dalam UU No. 22/1999 Kepala Daerah Tingkat I disebut  sebagai Gubernur (tanpa istilah KDH) dan Kepala Daerah Tingkat II disebut sebagai Bupati (tanpa  istilah KDH). Walaupun demikian bukan berarti Gubernurdan Bupati merupakan pejabat pusat saja (Kepala Wilayah) karena DPRD diberikan wewenang yang besar dakam mengawasi jalannya roda pemerintahan, maka tidak menutup kemungkinan Gubernur  dan Bupati diminta pertanggungjawabannya  atas jalannya roda pemerintahan sewaktu-waktu.
Dari mempelajari besarnya kemungkinan selama ini, Gubernur dan Bupati menciptakan Kroni, maka Pasal 48 UU No. 22/1999 melarang sebagai berikut:
1.             Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok politik tertentu.
2.             Menerima uang, barang, dan jasa dari pihak lain (sogok) dan kolusi yang patut dapat diduga  akan mempengaruh keputusan atau tindakan yang akan dilakukan.
Bahkan Pasal 49 UUini Gubernur dan Bupati dapat diberhentikan dari jabatannya apabila muncul krisis kepercayaan dari Masyarakat setempat. Begitu juga dalam Pasal 55 UU ini dinyatakan oleh DPRD tidak dapat dicalonkan lagi untuk pilihan selanjutnya.
Selama ini betapa kita lihat Gubernur dan Bupati memenangkan tender para kroninya, sehingga pada gilirannya memperkaya golongan tertentu dan mempermiskin golongan lainnya. Tender seperti ini tidak menimbulkan pembesaran rizki kebawah(Trickle Down Theory).

DPRD
Berbeda dengan UU No. 5/1974 yang Rapat Dewan dilaksanakan minimal 2 kali dalam setahun (Pasal 31) maka DPRD di era UU No. 22/1999 dituntut untuk lebih aktif yaitu Rapat Dewan minimal harus 6 kali dalam setahun (Pasal 23).
Demikian pula halnya dengan perimbangan keuangan pada UU No. 22/1999 ditentukan dana perimbangan keuangan melalui pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan serta pengambilan sumber daya alam.
Selama ini kita lihat bagaimana tidak seimbangnya penyedotan Pemerintah Pusat terhadap kekayaan daerah yang tidak sebanding dengan subsidi yang dikembalikan, dengan UU keadaan ini diharapkan tertanggulangi.

Dinas Otonom
Pemerintah Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Dari setiap penyerahan setiap urusan yang diberikan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dapat dibentuk berbagai Dinas Otonom. Jadi Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas, diangkat oleh Kepala Daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah. Kepala Dinas Daerah ini bertanggungjawab kepada Kepla Daerah melalui Sekretaris Daerah.

Antisipasi
Dari berbagai kemungkinan  otonomi yang luas dari UU No. 22/1999ini memang suatu ketika cenderung terbentuk suasana yang federalistik, maka yang perlu diatisipasi dari UU ini adalah besarnya dominasi dan arogan DPRD, ketegangan antar pribumi dan pendatang di masing-masing daerah, retaknya Persatuan dan Kesatuan, berkurangnya rasa Nasionalisme, lemahnya pengawasan pusat, munculnya egoism kedaerahan, munculnya tujuan yang berbeda-beda.

A.     Azas Penyelenggaraan Pemerintahan  di Indonesia
Ada 3 azas penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang harus diseimbangkan pemakaiannya yaitu sebagai berikut:

1.            Azas Negara Hukum
Yaitu azas yang mempedomani peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini mangandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya, dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh  hokum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Prinsip  dari azas ini tampak dalam rumusan peraturan  yang diwujudkan dari cita-cita hukum (rechssidee), kalu tidak demikian akan muncul kesemena-menaan yang bermula dari subyektifitas penguasa.

2.            Azas Semangat Kekeluargaan
Yaitu azas yang mempedomani rasa kemanusiaan dan cinta kasih senasib sepenanggungan. Istilah kekeluargaan itu berasaldari kata “keluarga” itu terdapat dalam masyarakat, bangsa apa saja, selain ditentukan oleh ikatan darah juga terdapat ikatan lainnya yang terjadi karena rasa cinta kasih antara sesame anggota yang sudah dianggap keluarga, yang membawa akibat saling bantu membantu, saling menghormati dan saling memberikan perlindungan.
Demikianlah jika ikatan-ikatan itu ditingkatkan dalam hubungan antar keluarga sampai pada hubungan antar anggota keluarga yang lebih besar, disebut kekeluargaan. Kekeluargaan ini sebagai pengobyetifan dari kekeluargaan yang subyektif.



3.            Azas Kedaulatan Rakyat
Yaitu azas yang mempedomani bahwa kekuasaan tertinggi adalah hati nurani rakyat kecil yang selama ini walaupun jumlah mereka besar, tetapi mereka diam (Silent Majority). Azas ini berasal dari keinginan untuk mewujudkan demokrasi, tetapi hendak dapat dibedakan antara demokrasi dengan kebebasan, kendatipun demokrasi membicarakan berbagai kebebasan seperti kebebasan berpendapat, kebebasan menuntut ilmu dan mengusahakan mata pencaharian yang layak serta lain-lain. Namun kebebasan pada gilirannya dapat mencapai dekadasi moral karena bagaimanapun manusia ingin bebasbahkan hidup sendiri, peraturan dan hukum tetap perlu diadakan sendiri.

Ketiga azas tersebut diatas mutlakharus diseimbangkan, karena bila dilaksanakan sendiri-sendiri  cenderung akan memiliki ekses negative. Misalnya hukum yang dilaksanakan secara berlebih-lebihan akan menyingkirkan kemanusiaan dan kekeluargaan, nilai-nilai kekeluargaan bila dilakukan berlebihan akan melupakan hukum yang harus dijalankan, dan kebebasan rakyat yang dibiarkan berlebihan akan menimbulkan pelanggaran ssyariah agama yang trasedental.
Namun demikian apabila dijalankan berbarengan secara seimbang akan menciptakan hasil yang luar biasa baiknya, dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan Indonesia. Ini memang merupakn sifat dan azas yang dianut oleh Undang-undang Dasar 1945, yang ditelurkan dari pola piker pendiri negara kesatuan Republik Indonesia ini dulu. Itulah sebabnya dalam ketatanegaraan Indonesia kita kenal hukum yang bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila, kekeluargaan leluhur yang berbhineka tunggal ika, dan keberadaan dewan perwakilan rakyat yang sampai saat ini masih tetap mencari bentuk keindonesiaannya.

B.     Azas Pemerintahan di Daerah
Dalam hubungan Pemerintahan Pusat dengan pemerintah Daerah, kita mengenal bebrapa kali pergantian Undang-undang pemerintahan Daerah. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun  1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan di daerah, yang masih berlaku sampai saat ini,dikenal beberapa azas penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, sebagai berikut:

1.            Azas Desentralisasi
Azas desentralisasi adalah azas penyerahan sebagian urusan dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

2.            Azas Dekosentrasi
Azas dekosentrasi adalah azas pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah, atau kepala instasi vertical tingkat atasnya, kepada pejabat-pejabatnya di Daerah.

3.            Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan adalah  azas untuk turut sertanya pemerintah daerah bertugas dalam melaksanakan urusan pemerintahan pusat yang ditugaskan kepada pemerinah daerah oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Konsekuensi daripada ketiga azas tersebut diatas, maka diadakan sebagai berikut:
1.             Otonomi Daerah, yaitu akibat adanya desentralisasi  lalu diadakan daerah otonomyang diberikan hak wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri sesuai peraturan berlaku.
2.             Daerah Otonom, yaitu akibat adanya otonomi daerah lalu dibentuklah daerah-daerah otonom, baik untuk tingkat I maupun tingkat II. Daerah Otonom itu sendiri  berarti kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan myang berlaku.
3.             Wilayah Administratif, yaitu akibat  adanya azas dekosentrasi. Wilayah Administratif itu sendiri, berarti lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan umum di Daerah. Tugas pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman, ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya (seperti peradilan, keamanan, moneter, dan luar negeri) yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk  urusan rumahtangga Daerah.
Kata “mengurus” dan “mengatur” dalam pemberian otonomi keapada daerah dapat dibedakan, yaitu  mengurus berarti fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan oleh pihak eksekutif daerah yaitu Kepala Daerah, sedangkan mengatur berarti fungsi pengaturan yang dijaankan oleh pihak pembuat peraturan Daerah. Kesemuanya merupakan fungsi pemerintah daerah itu sendiri bik Tk. I maupun Tk II.
1)            Kepala Wilayah, Kepala Daerah dan Otonomi Daerah
Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa Kepala Wilayah belum tentu sekaligus Kepala Daerah, contoh Camat. Tetapi Kepala Daerah dengan sendirinya Kepala Wilayah seperti Gubernur Kepala Daerah Tk. I dan Bupati Kepala Daerah Tk. II serta Walikotamadya KDH Tingkat II.
Begitu pula dengan halnya Sekretariat Daerah adalah unsur staf yang membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah. Secretariat Daerah dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah atau Sekda. Tetapi karena dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di dalam negara kesatuan Republik Indonesia, maka desentralisasi dijalankan bersama-sama dengan dekosentrasi. Sehingga bukan hanya Kepala Daerah Tk. I dan Kepala Daerah Tk. II yang merangkap Kepala Wilayah, selanjutnya Sekretariat Daerah adalah juga Sekretariat Wilayah. Secretariat Daerah karena jabatannnya adalah juga Sekretaris Wilayah.
Dengan demikian dalam pembicaraan sehari-hari dikenal Sekretaris Wilayah Daerah untuk orang yang menjabat dan memimpin suatu kantor Sekretariat Wilayah Daerah, baik untuk Tingkat I maupun Tingkat II.
Sebagaimana telah diuraikan pada penjelsan-penjelasan sebelumnya, bahwa desentralisasi adalah penyerahansebagian urusan pemerintahandari PemerintahPusat kepada Pemerintah Daerah dan seterusnya menjadi urusan rumah tangga Daerah. Sebagai implementasinya lalu diadakan otonomi Daerah baik pada Daerah Tk. I maupun Daerah Tk. II.
Otonomi Daerah itu sendiri berarti hak, wewenang dan kewajiban suatu Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Fungsi mengatur diberikan kepada aparat legislative yaitu DPRD, sedangkan fungsi mengurus diberikan kepada aparat eksekutif yaitu Kepala Daerah dan Dinas-dinas Otonominya. Itulah sebabnya DPRD pada masing-masing Daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) masing-masing sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam berbagai kesempatan selalu disampaikan bahwa titik berat otonomi Daerah diberikan kepada Daerah Tingkat II namun demikian dalam kenyataannya pemberian otonomi kepada Daerah, lebih besar kewajiban daripada hak. Sehingga dengan demikian masih tampak unsur sentralistis. Karena “Kewajiban” untuk menjaga persatuan dan kesatuan, merupakan sentralisasi pemerintahan. Sedangkan “Hak” untuk mengatur dan mengurus rumahtangga sendiri, merupakan desentralisasi pemerintahan.
Selain daripada itu identik dengan pertanggungjawaban Presiden di tingkat Pemerintah Pusat, Kepala Daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD. Kendatipun begitu Kepala Daerah tetap wajib memberikan keterangan pertanggungjawaba kepada DPRD sekurang-kurangnya sekali dalam setahun atau apabila dianggap perlu DPRD dapat memintanya dalam waktu tertentu.
Kepala Daerah yang sekaligus juga ex officio Kepala Wilayah (Gubernur, Bupati, ataupun Walikotamadya) sebagai aparat Pemerintah Pusat yang berada di Daerah, bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri,. Ini menunjukkan bahwa Presiden selaku Kepala Negara merupakan pertanggungjawaban terakhir hal ikhwal pemerintahan.
Segala apa yang telah disampaikan di atas menunjukkan besarnya kekuasaan eksekutif pusat (Pemerintah Pusat) di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan keseluruhannya berangkat dari anggapan bahwa pada waktu diberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah, separatisme cenderung sering terjadi. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memang bangsa yang memiliki kebhinekaan mulai dari perbedaan keberagaman suku, adat istiadat, bahasa daerah, agama kepercayaan, pulau, dan seni budaya lainnya.
Atas pemikiran itu pula dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974, disebutkan bahwa Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah dari antara calon-calon yang diajukan oleh DPRD tidak dapat memilih salah satu diantaranya, ini adalah merupakan hak prerogative Presiden.
Akhirnya disimpulkan bahwa pemberian otonomi kepada Pemerintah Daerah haruslah nyata, dinamis dan bertanggungjawab. Nyata dalam arti desentralisasi pemerintahan karena harus didasarkan pada factor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin Daerah tersebut mampu mengurus rumahtangganya sendiri. Bertanggungjawab dalam arti sentralistis pemerintahankarena harus sejalan dengan tujuan yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di pelosok negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Sedangkan dinamis dalam arti Pemerintah Daerah yang diberikan Otonomi Daerah tersebut berkembang kearah yang lebih baik dari wkatu ke waktu, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunannya, maupun dalam pelayanan kemasyarakatan.
Adapun yang menjadi kesimpulan ini adalah antara lain sebagai berikut:
1.             Otonomi Daerah ditandai dengan pemberian urusan-urusan tertentu kepada Daerah tertentu, dan sisanya tetap dikelola oleh Pemerintah Pusat. Oleh karenanya terasa ada pembatasan
2.             Perincian pemberian urusan tersebut dimaksudkan untuk melihat kemampuan masin-gmasing Daerah, tetapi di balik daripada itu ada pertimbangan  lain untuk tidak member sesuatu urusan.
3.             Pemerintah Daerah diharapkan untuk tidak terlalu besar mengharapkan ketergantungan pada bantuan sumbangan dari Pemerintah Pusat.
4.             Urusan-urusan yang tidak mungkin diserahkan kepada Pemerintah Daerah adalah urusan moneter, urusan peradilan, urusan luar negeri dan urusan pertahanan keamanan.
5.             Pemerintah Pusat diharapkan tidak terlalu banyak ikut campur dalam bursa pemilihan Kepala Daerah. Sesuai peraturan yang berlaku Pemerintah Pusat dipersilahkan ikut menetukan pemenang seelah calon diajukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar