Kamis, 24 April 2014

KECUPAN TERAKHIR DIBALIK TOGA (true story)

Mata itu, terus mengamatiku kemanapun aku berada. Cihhh….sungguh orang itu sudah tak punya malu, pikirku. Hiruk pikuk keramaian membuyarkanku dari lamunan tentang masa-masa indah bersamanya, kenangan yang mungkin takkan terlupakan dan terus tersimpan di ingatan ini meski pada akhirnya akan sangat mengiris hati. Astagfirullah….air mata ini akan segera membasahi kedua pipiku bila tak segera kuseka dengan sapu tangan. Mengapa hati ini belum bisa mengikhlaskan kejadian kemarin? Penghianatan yang kuterima setelah empat tahun berada disisinya, sungguh kisah cinta yang sangat miris untuk dikisahkan.

Sesaat kulihat wajah kedua orangtuaku tersenyum dibalik kerumunan para orangtua calon wisudawan. Hari ini merupakan hari yang membanggakan bagi mereka semua, setelah melewati perjuangan panjang pahit manis bangku kuliah di Universitas Al-Asyariah Mandar. Liana, Fira, dan Dina adalah my best friend. Mereka selalu menghiburku ketika hati ini mulai terasa perih lagi. Katanya,
”Kami mengerti isi hatimu kawan”. Sungguh, dorongan mereka saat ini yang sangat kubutuhkan.
“Sayang,,,kamu kenapa?”. Tanya fira.
“Dia, dia ada disini dan terus mengamatiku. Aku sangat merasa risih dibuatnya”. Jawabku.
          “Sudahlah…kamu tenang saja, dia tidak akan mengganggumu lagi”. Ujar Liana sambil menggenggam tanganku berusaha menguatkan hatiku, dan aku menghargai usahanya itu.

Calon wisudawan dan wisudawati bergantian naik ke podium untuk meresmikan titel yang akan mereka sandang dibalik namanya. Sesaat kemudian, terdengar panggilan “Dewi Riana Ahmad”, kini saatnya giliran aku  naik ke podium. Oh,,,kakiku rasanya lemas, kedua tanganku mulai berkeringat dingin. Sesekali kulirik matanya yang memperhatikanku, seolah ingin merangkullku dari kejauhan namun bayangan wanitanya menghalangi niatnya.
“Selamat”, kata pak Rektor yang menyalamiku setelah peresmian yang telah dia berikan kepadaku dengan memindahkan pita togaku dari kiri ke kanan. Kuucapkan,
“Terimakasih” yang sangat mendalam kepadanya.
                                                 ***


Hati ini menangis saat melihatnya berbincang dengan orangtuaku. Ya Allah, kenapa kau tidak mentakdirkan dia untukku. Empat tahun bersamanya, tapi Kau memilihkan dia dengan seseorang yang hanya enam bulan dikenalnya lewat dunia maya. Mama, Papa, maafkan aku telah merahasiakan kegagalanku, karena kurasa itu akan lebih baik daripada kalian tahu yang sebenarnya.  Setidaknya kalian tidak akan mengasihaniku.
“Dewi…kemari nak, saatnya kita berfoto bersama”. Panggil mamaku.
“Iya ma…”, sahutku. Lalu photographer mengatur posisi kami, yang dimana aku ditengah dan ada mama dan papa disampingku. Lalu,
“Nak Wahyu mari bergabung bersama kami, pamali bila berfoto hanya bertiga” panggil mamaku padanya.
“Terimakasih tante”, dia pun segera ambil posisi disamping mamaku. Kenapa harus dia?, sangat menggelikan berfoto dengan orang yang jelas telah menyakiti kita. Kuatkan aku ya Allah…

Setelah kami merasa cukup berfoto, orangtuaku berpamitan kepada teman-temanku dan dengan dia, seolah dia akan menjadi orang terakhir mendampingiku. Suatu hari mereka harus tahu yang sebenarnya. Tanpa sadar, Wahyu menarik tanganku dan mengajakku ke Sekretariatan Mapala, lalu kami duduk di pondok bambunya
 “Dewi, aku mau bicara, Ada beberapa hal  yang ingin kujelaskan padamu dan kurasa itu penting untuk kau ketahui”, bujuknya.
          “Baiklah, katakan apa yang ingin kau katakan karena mungkin ini kali terakhirnya kita bicara”. Kutatap matanya saat ia menggenggam tanganku dan ia mulai bicara.
          “Sayang maafin aku telah menyakiti dan mengecewakanmu, tidak sepatutnya aku memperlakukanmu seperti ini. Tapi sungguh aku tiada niat untuk itu. Karena kamu juga tahu kan?, aku sangat menyayangimu”. Terangnya.
          “Oh ya…kamu menyayangiku?, tak ada niat?, menggelikan sekali. Jadi berpacaran dengan dia selama enam bulan di facebook tanpa sepengetahuanku, kamu anggap tak ada niat?”. Dadaku mulai sesak mendengar pernyataanya.
          “Aku tahu, aku memang salah. Tapi aku berharap kamu bisa mengerti posisiku pada saat itu!”. Dia semakin menggenggam tanganku dengan erat.
          “Aku memang dekat denganya saat kau tidak memperhatikanku karena kesibukanmu, dan itu kulakukan semata untuk menghibur diri dari kejenuhan. Jadi please, kamu jangan salah paham dulu dengan semua ini”.  Airmata pun jatuh membasahi kedua pipiku dan aku sudah tak sanggup lagi menahannya karena mata ini juga berhak untuk menangis.
          “Kamu kira aku tidak tahu?, sekarang wanita jawa itu tinggal dirumahmu. Dan dia mulai perlahan merampas posisiku di kehidupanmu”, Ungkapku dengan keseduhan.
          “Darimana kau ketahui semua tentang itu?”, tanyanya.
          “Apa kau juga telah menjanjikan pernikahan padanya?, sehingga dia rela meninggalkan keluarganya di Surabaya, lalu datang menemuimu di Makassar?”. Aku berusaha melepas genggamannya dan mencoba tegar dihadapannya meski sebenarnya aku sangat rapuh karenanya.
          “Aku tidak menyangka, ternyata kau mengetahui lebih dari yang kuduga. Dia memang sekarang ada dirumah, dan dia datang ke makassar bukan sepenuhnya untuk bertemu denganku tetapi dia ingin pindah agama Islam. Dan aku tidak bisa menolak  niat baiknya, jadi aku menerima dia dan membantunya”.
          “Dan kamu juga tidak bisa menolak permintaanya untuk dinikahi?, selaku. Dan dia pun berusaha menenangkanku dengan menepuk pundakku.
          “Sayang, entah kenapa aku jadi serba salah. Disatu sisi aku tidak bisa menolaknya, dan disisi lain aku tak  tak sanggup meninggalkanmu”. Jawabnya. Aku hanya bisa menghela napas,
          “Itu karena kamu telah berani bermain api dan kamu tidak sanggup menyelamatkan dirimu sendiri apalagi memadamkannya”.

Untuk beberapa saat, kami saling berdiam. Entah apa yang dipikirkannya, dan aku juga bingung apa yang sekarang aku pikirkan. Pikiranku jadi sangat kacau, marah dan sedih menggunduk di otakku hingga aku tak mampu untuk memutar otakku agar tetap dapat berpikir.

Dia mulai berdaham, sepertinya dia ingin memulai kembali pembicaraan ini.
“Dewi, aku berusaha untuk mengambil keputusan dengan sebijak mungkin”, lalu dia menarik napas dalam-dalam.
“Sekarang, aku satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadapnya karena cuma aku yang dia punya di sini. Dan mungkin aku akan benar-benar menikahinya karena aku telah terlanjur janji padanya”. Oh…Tuhan aku sudah tak sanggup lagi berpura-pura kuat dihadapanya, air mata ini semakin tumpah. Lalu dia memelukku berusaha menenangkanku lagi.
“Maafin aku sayang…,kuharap kau bisa mengerti dan ikhlas menerimanya”, ujarnya. Rasanya aku tak ingin melepas pelukannya karena kutahu setelah ini, tak ada  lagi pelukan hangat darinya.
“Aku mohon jangan menangis, aku ingin melihatmu tetap sebagai Dewi yang selalu tersenyum ceria”. Lalu dia melepas rangkulan tanganku dari pundaknya kemudian mengecup keningku. Hangat dan lembut bibirnya kurasakan begitu tulus hingga  aku semakin tak kuasa menahan perasaan sedihku akan berpisah dengannya.
“Sudahilah tangisanmu ini sayang, kamu pastinya tidak ingin tampilan riasanmu rusak saat bertemu dengan teman-temanmu nanti”. Dia berusaha mencoba menghiburku dan menguatkanku. Setelah merasa agak tenang dia mengantarku ke toilet untuk merapikan diri kembali.

Sesaat kemudian, aku telah keluar dari toilet. Emosiku sudah agak baikan dan aku juga telah memperbaiki riasanku. Aku tidak ingin orang bertanya-tanya ketika melihat keadaanku kacau. Lalu dia mengantarku untuk bertemu dengan teman-teman wisudawanku, mereka semua masih tampak bersemangat dan bahagia. Lalu dia memasang kembali toga di kepalaku sembari tersenyum dan berkata,
“Lanjutkan hidupmu sayang, dan izinkan aku sekali lagi mengecup keningmu sebagai tanda perpisahan”, pintanya. Lalu aku hanya bisa mengangguk. Ketika kurasakan sentuhan lembut bibirnya di keningku, entah mengapa hati ini merasa damai setelah apa yang terjadi. Mungkin aku sudah mulai belajar ikhlas melepaskannya.

Kemudian dia berpamitan kepada teman-temanku. Untuk terakhir kalinya aku memandangi kepergiannya yang takkan kembali dan ku hanya bisa ikhlas dan bertawakkal. Sampai jumpa  kekasih terindah yang bukan untukku. Semoga kau bahagia dengan pilihanmu.

Makassar, 10 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar